Pilkada Bali: Menangkan Teluk Benoa
Hari Raya Nyepi tinggal beberapa saat lagi. Secara hubungan emosional, saya selalu mengaitkan hari tersebut dengan Pulau Dewata — Bali. Mengapa? Selain karena 83% penduduknya merupakan penganut agama Hindu (BPS, 2010) yang pastinya juga merayakan. Namun juga terakhir kali kesana, saya harus menunda kepulangan saya dikarenakan kehabisan tiket untuk penerbangan sebelum hari Nyepi. Tentu saja karena bandara yang tutup pada saat Nyepi. Tidak heran memang, hal tersebut sudah menjadi rutinitas tiap tahunnya.
Setahun yang lalu, pada saat Nyepi juga, saya sempat sedikit membahas tentang Bali. Karena kembali lagi, bagi saya pribadi Nyepi memang sangat berkaitan dengan Bali, terlebih jika meruntut kepada pengalaman yang saya alami sebelumnya.
Pada saat itu tidak banyak yang dapat saya bahas, begitu pun dengan sekarang. Karena jujur, saya bukan termasuk yang terjun langsung kesana untuk membahas permasalahan yang satu ini.
Banyak sekali pro dan kontra mengenai permasalahan yang satu ini. Beragam istilah pun mulai diujarkan. Revitalisasi, reklamasi, percepatan pembangunan, penambahan ruang terbuka hijau (RTH). Apapun itu, saya merasa apa yang dirasakan masyarakat merupakan sesuatu yang nyata dan faktual. Jika masyarakat merasa resah, maka memang benar keresahan sedang terjadi di sekitar mereka.
Tapi jika masyarakat diam, bukan berarti tidak ada keresahan, hanya saja ada sesuatu yang ingin diungkapkan namun tidak pernah sanggup untuk dikeluarkan lisan. Mengapa? Karena memang dalam dunia ini tidak ada yang akan pernah terpuaskan secara keseluruhan. Sehingga yang menjaga lisan bukan berarti ada yang membungkan, hanya saha mereka tahu yang sedang terjadi lebih sedikit menghasilkan ‘ketidakbaikan’ dibanding pilihan lain.
Begitu juga dengan masyarakat Bali. Terlebih mereka selama ini telah bersuara dengan lantang. Baik yang setuju maupun tidak. Baik yang diuntungkan, apalagi yang akan terancam kehidupannya.
“Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”
Begitu beratnya mendefinisikan paragraf diatas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Begitu beratnya menuju masyarakat yang adil dan makmur. Begitu beratnya jika kita tidak berdaulat.
Begitu beratnya menuju kedaulatan bangsa ini. Begitu beratnya jika kita tidak pernah bersatu.
Begitu beratnya mencapai sebuah persatuan. Begitu beratnya jika kita belum merdeka.
Begitu beratnya merdeka jika kita……Tunggu dulu.
Sebelum negara ini merdeka, memang sangat sulit menggapai sebuah keadilan dan kemakmuran. Tapi bangsa ini pernah bersatu untuk menyongsong kemerdekaan. Satu langkah besar pernah diambil bangsa ini. Mengapa sekarang tidak?
Tidak hanya untuk Bali, tapi untuk keseluruhan negeri. Bali mungkin adalah titik awal, sebuah titik diantara sebuah garis.
Bali telah bersuara. Bali telah bersajak. Bali telah bernyanyi. Bali telah berbakti untuk negeri. Apakah selanjutnya Bali harus reklamasi?
“Untuk bergerak itu tidak susah. Kalau memang kamu merasa ada yang salah, bergeraklah. Bergerak untuk cari tahu apa yang sebenarnya terjadi”
Mungkin ungkapan diatas cukup menggambarkan apa yang saat ini sedang saya lakukan. Memang benar sesungguhnya kebenaran hanya Tuhan yang tahu. Tapi kabar Tuhan akan menciptakan Adam pun terdengar erat hingga telinga jin, dan ada beberapa jin yang berkawan cukup dekat dengan manusia.
Kesimpulannya? Sila maknai sendiri.
Rakyat Bali saat ini sedang mempertahankan perjuangannya untuk memenangkan Teluk Benoa.
Rakyat Bali mencintai Bali bukan hanya karena limpahan materi, tapi saya yakin ada sesuatu hal yang memang tidak akan pernah sanggup dibayari.
Tapi tentu saja ada juga beragam alasan kenapa Bali dicintai.
Karena semenjak awal sudah saya katakan terdapat sebuah pengalaman emosional antara saya dan Bali, mungkin ada anggapan bahwa ini subyektif. Tapi kembali lagi, opini merupakan sebuah titik dari jajaran titik di garis kebenaran.
Hingga kini masyarakat Bali terus menghimpun titik-titik hingga pada akhirnya garis kebenaran akan muncul. Ada yang membuat titik di absis positif, ada juga yang membuatnya di absis negatif. Tapi siapa tahu jika nanti pada akhirnya garis yang tercipta justru membelah ordinat 0?
Pilkada di Bali merupakan salah satu kunci dari pergelaran masalah ini. Masyarakat Bali berhak untuk mendapatkan garis yang selama ini mereka tuju. Setidaknya seluk-beluk permasalahan ini dapat diselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke tahap selanjutnya, dan tentu saja pemerintah merupakan pihak yang dapat melakukan ini.
Sebesar apapun kebenaran, seterang apapun itu, jika yang berkuasa enggan untuk tersentuh, harus apa?
Saya bukan mahasiswa yang mendalami politik sehingga tentu saja tidak bisa menunjuk sebuah nama yang dianggap akan menyelesaikan masalah ini.
Saya hanya mahasiswa yang memiliki perasaan bahwa masalah ini harus segera diselesaikan dengan sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya.
jika rimba tak lagi bergema
harimau singa tak lagi bersua
buaya dan kancil tidak lagi beradu kata
justru para mulia yang bersengkatamaka yakinlah…
pasti ada yang salah
pasti ada yang berulahmaka segera berangkatlah…
daripada tanah lagi tertumpah darah
anak berlari tanpa ibu ayahmaka carilah…
walau hanya bambu sebilah
walau dengan rasa gelisahdaripada kita, harus mengangkut jenazah
Terlambat upload. Tapi cinta tanah air tidak ada yang basi.
Salam dari Surabaya.